Senin, 16 Desember 2013

Makalah Filsafat Pendidikan Islam



PENDIDIKAN ISLAM DALAM PANDANGAN SYEKH NAWAWI AL-BANTANI DAN IMPLIKASI DI ERA GLOBALISASI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.

Disusun oleh :
SRI LATIFAH NURDIANI
11410203
PAI-E

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Islam memandang bahwa Allah adalah sumber-sumber kebenaran dan pengetahuan. Manusia diberi mandat untuk mencari dan mengembangkan pengetahuan dengan potensi dan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa Allah menyatakan kebenaran dengan berbagai cara: sabda, peristiwa, fenomena dan budaya. Tugas manusia untuk mencarinya secara kritis.
Dalam mencari dan mengemukakan pengetahuan, manusia mengalami proses belajar. Peristiwa belajar sudah tentu melibatkan keseluruhan dimensi kepribadiannya. Dalam perbuatan belajar, intelek, emosi, kehendak, dan bagian-bagian dari panca indera, semua ikut terlibat. Karena itulah keseluruhan aspek dari diri kita ikut aktif menjadi instrumen untuk mengetahui, dan memperoleh kebenaran Allah.[1]  
Syekh Nawawi al-Bantani adalah salah satu ulama besar dari Indonesia yang telah menyumbangakan pemikirannya terhadap dunia keilmuan Islam dan pendidikan Islam dalam rangka pencarian kebenaran sebagaimana tugas manusia untuk mengoptimalkan potensi akalnya.
Syekh Nawawi sangat produktif mengarang kitab. Ia banyak dikenal terutama di kalangan para santri dan ulama Indonesia, dengan sebutan Syekh Nawawi al-Bantani.[2] Bagaimanakah sosoknya? Bagaimanakah pemikiran pendidikan dan implikasinya terhadap dunia pendidikan Islam? Semuanya akan mencoba penulis paparkan dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Siapa Syekh Nawawi al-Bantani?
2.      Apa saja karya-karyanya?
3.      Bagaimana pemikiran pendidikannya?
4.      Apa saja hal-hal yang mewarnai pemikiran pendidikannya?
5.      Apa saja implikasi dari pemikiran pendidikannya?
6.      Bagaimana refleksinya dalam pendidikan Islam?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani (1813-1897 M)
Nama lengkap Syekh Nawawi ialah Muhammad Nawawi bin Umar bin ‘Arabi. Beliau dikenal juga dengan sebutan Abu Abdul Mut’thi sebagai julukan nama dari anak laki-laki satu-satunya. Dalam kapasitas keulamaannya, beliau dikenal  dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Syekh al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat pada tahun 1813 M/1230 H dan wafat di Ma’la Mekkah Saudi Arabia pada tahun 1897 M, bertepatan dengan tanggal 25 Syawal tahun 1314 H, dalam usia 84 tahun, tanpa menyebutkan tanggal lahirnya.[3]
Syekh Nawawi lebih populer dengan julukan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz. Melalui pelacakan geneologi, bahwa Syekh Nawawi merupakan keturunan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putera Maulana Hasanuddin (Sultan Banten 1) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Pada tahun kelahirannya ini, Kesultanan Banten berada pada periode terakhir yang pada waktu itu diperintah oleh Sultan Muhammad Rafi’uddin (1813-1820). Melalui bapaknya yang bernama Umar bin ‘arabi dan ibunya yang bernama Zubaedah, Syekh Nawawi hidup dalam keluarga yang miskin dan di lingkungan ulama. Ayahnya seorang penghulu kecamatan dan pemimpin masjid serta pendidik Muslim di Tanara. Ayahnya ikut menyokong bagi perkembangan jiwa keagamaan Nawawi. Di samping itu, Syekh Nawawi punya kesadaran untuk tidak ikut terbawa arus kebodohan yang diciptakan oleh kaum penjajah Belanda.[4]
Orang Belanda datang ke Indonesia bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang. Mereka dimotivasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, sekalipun harus mengarungi laut yang berbahaya sejauh ribuan kilometer dalam kapal layar kecil untuk mengambil rempah-rempah dari Indonesia. Namun pedagang itu merasa perlunya memiliki tempat yang permanen di daratan daripada berdagang dari kapal yang berlabuh di laut. Kantor dagang itu kemudian mereka perkuat dan persenjatai dan menjadi benteng yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan teritorial. Setelah peperangan kolonial yang banyak akhirnya Indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan Belanda. Namun perluasan daerah jajahan ini baru selesai pada permulaan abad keduapuluh.[5]
Keadaan agama Islam di Banten nampak begitu kelabu. Semenjak berakhirnya Sultan Banten yang pertama, dibawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin yang memerintah dari tahun 1550-1570, maka kejayaan Islam Banten berangsur-angsur surut. Dan klimaks dari kemunduran itu adalah ketika raja Banten berakhir, Pangeran Ahmad, ditangkap dan diasingkan oleh Raffles ke Surabaya. Kerajaan Banten dihapuskan dan Banten menjadi monumen dari sejarah perkembangan Islam.[6]
Masyarakat Banten termasuk masyarakat yang kuat memegang ajaran agamanya dan cenderung fanatik. Dengan jatuhnya kedaulatan Kesultanan Banten ke tangan penjajah Belanda, maka rakyat Banten semakin menderita, apalagi semasa Cultuur Stelsel (tanam paksa). Penderitaan ini secara umum lebih berat dibanding daerah lain di Indonesia, walaupun sama-sama anak jajahan. Penderitaan dan kemelaratan rakyat Banten terungkap melalui buku karya Multatli (Douwes Dekker) mantan presiden di Lebak Banten, yang berjudul Max Havelaar berisi kisah penderitaan Saijah dan Adinda.[7]
Di balik penderitaan pada pertengahan abad ke-19 tersebut, bumi Banten justru bangkit dengan berbagai macam perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Salah satu yang terkenal adalah pemberontakan Cilegon 1888 yang dipimpin oleh Haji Wasid dan Tubagus Haji Ismail. Mereka yang terjun dalam peristiwa Cilegon tersebut tidak terlepas dari pengaruh dua ulama besar Banten, Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Abdul Karim al-Bantani. Keduanya bermukim dan belajar di Mekkah, pernah pulang dan mendirikan pesantren di Banten untuk beberapa waktu dan kembali ke Mekah hingga akhir hayatnya, tetapi pengaruh mereka tetap luar biasa di Banten. Baik Syeikh Abdul Karim maupun Syeikh Nawawi adalah murid Syeikh Ahmad Khatib Sambas, bedanya Syeih Abdul Karim mewarisi gurunya di bidang tarekat sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, sedangkan Syeikh Nawawi sebagai pewaris gurunya di bidang keilmuan Islam ataupun pemikiran.[8]
Murid-murid Syeikh Nawawi al-Bantani banyak sekali dan tidak hanya terbatas dari kalangan al-Jawi (melayu), tetapi juga dari belahan dunia lainnya. Dari kalangan al-Jawi diantara murid-muridnya adalah Syeikh Muhammad Dawud (Perak, Malaysia), K.H. Asy’ari (Bawean, Gresik), K.H. Hasyim Asy’ari (Jombang, pendiri Nahdlatul Ulama) dan K.H. Raden Asnawi (Kudus). Syeikh Nawawi al-Bantani al-Jawi wafat di Mekah tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah bertepatan tahun 1897 Masehi. Walaupun ulama besar ini telah wafat, tetapi kitab-kitab karangannya banyak dibaca orang hingga sekarang.[9]            
Ulama Indonesia di Makkah
Syeikh Nawawi al-Bantani adalah seorang ulama besar dari kalangan al-Jawi (melayu), penulis produktif, imam dan pendidik di Masjid al-Haram Mekah, yang mampu mengangkat citra ulama dan murid di kalangan al-Jawi di hadapan ulama-ulama Timur Tengah. Ia mendapatkan gelar Sayyidu ‘Ulama’i al-Hijaz (Kampiun-nya ulama Hijaz) karena kealimannya dari Universitas al-Azhar Kairo. Pengakuan dari perguruan tinggi Islam tertua dan paling bergengsi itu tentunya sudah melalui penelitian yang objektif dan tidak main-main. Disamping itu beliau juga terkenal sebagai ulama ahli fikih dan ahli tafsir yang mumpuni pada zamannya, di kawasan Hijaz.[10]
Tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram pada saat itu mempunyai pengaruh besar di kalangan sesama orang Nusantara dan mempengaruhi generasi berikutnya melalui pengikut-pengikut dan tulisan-tulisannya. Nawawi Banten (wafat 1896-7) yang dipuji Snouck sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati adalah pengarang paling produktif. Disamping kitab tafsirnya yang terkenal, dia menulis kitab dalam setiap disiplin ilmu yang dipelajari di pesantren. Berbeda dengan pengarang Indonesia sebelumnya, dia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan syarah atas kitab-kitab yang telah digunakan di pesantren dan menjelaskan, melengkapi atau terkadang mengoreksi matan yang disyarahi. Sejumlah syarahnya benar-benar menggantikan matan asli dalam kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya (dia menulis paling sedikit dua kali jumlah itu) masih beredar, dn 11 judul dari kitab-kitabnya termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan di pesantren. Nawawi berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren. Dia memperkenalkan dan menafsirkan kembali warisan intelektualnya, dan memperkayanya dengan menulis karya-karya baru berdasarkan kitab-kitab yang belum dikenal di Indonesia pada zamannya. Semua kiai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual mereka. Bahkan Ahmad Khatib Minangkabau, bapak reformis Islam Indonesia pun termasuk muridnya. [11]  
Pendidikan dan Guru-Gurunya
Sejak kecil, Nawawi telah diarahkan ayahnya untuk menjadi seorang ulama. Atas bimbingannya, Nawawi menempuh berbagai rintangan dan hambatan demi hambatan dalam menuntut ilmu. Ia tidak hanya belajar tentang berbagai ilmu, tapi juga pembenahan akhlak dan kearifan. [12]
Karena faktor keturunan/keluarga inilah yang sangat berpengaruh terhadap pembinaan karakter Syekh Nawawi, maka tidak heran kematangannya dalam keilmuan maupun karakter sangat kuat.
Setelah berumur 15 tahun, ia menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah dan bermukim disana selama tiga tahun (1830-1833). Ia belajar kepada ulama-ulama terkenal seperti Syaikh Nahrawi, Syeikh Ahmad Zaini Dahlan dan Syeikh Ahmad Dimyati. Di samping itu, Nawawi juga belajar kepada Syeikh Muhammad Khatib al-Hanbali di Madinah. Setelah tiga tahun di tanah suci, ulama muda ini pulang kembali ke kampung halamannya dan membantu ayahnya mengajar di pesantren. Tetapi ternyata ia tidak betah tinggal lama di tanah air, karena situasi politik yang kurang menguntungkan.[13]
Ulama yang cukup mewarnai prinsip keilmuan dan jalan pikiran Syekh Nawawi adalah Syekh Sayyid Akhmad Nakhrawi dan Syekh Sayyid Ahmad Dimyathi. Sebab dua ulama inilah yang mula-mula membimbing Nawawi dalam berbagai disiplin ilmu, membentuk karakternya dengan sikap positif di dalam menghadapi goncangan psikologis yang ada dan mengajari untuk selalu memegang nilai-nilai agama dan memantapkan prinsip akidah. Selain mereka ialah Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh Muhammad Khatib Hambali. Antara tahun 1830-1860, Nawawi menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu.[14]
Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkannya menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjid Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjid Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak itulah ia menjadi imam Masjid Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Dalam waktu senggang, antara tahun 1860-1870 ia mengajar di Masjid Haram, sebab antara tahun-tahun tersebut, Syekh Nawawi sudah secara aktif menulis berbagai kitab. Tetapi setelah tahun 1870 ia fokuskan aktivitasnya untuk menulis.[15]
B.     Karya-Karya Syekh Nawawi
Salah satu karya Imam Nawawi yang memperoleh pengakuan dan penghargaan para Ulama Mekah dan Mesir adalah tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzih.[16] Kitab tafsir ini termasuk tafsir yang ilmiah dan lebih rasional di antara sebagian kitab tafsir sebelumnya. Kitab ini dipergunakan sebagai rujukan di Universitas al-Azhar, sehingga namanya terkenal di sana.[17] Ketika naskah karya ini selesai, 1886 (5 Rabiul akhir 1305 H), terlebih dahulu disodorkan kepada para ulama Mekah dan, kemudian, para ulama Mesir yntuk diteliti. Akhirnya, kitab tafsir tersebut diterbitkan di Mesir. Atas dasar prestasi besar yang telah berhasil ditunjukkan Imam Nawawi ini, para ulama Mesir menganugerahkan gelar kepadanya, “Sayyid ‘Ulama al-Hijaz” (pemimpin Ulama Hijaz). Sebagai rasa syukur atas anugerah tersebut, kemudian Imam Nawawi menyusun suatu risalah dalam bentuk puisi, Manzumah. Dalam salah satu kalimatnya ia menulis: “sungguh, ilmu itu cahaya yang menerangi pemiliknya. Di mana pun ia berada, akan senantiasa dimuliakan.”[18]     
Kebanyakan hasil karyanya ialah berupa syarh (penjelasan) atau hasyiyah/hamisy (catatan pinggir) atas karya ulama kenamaan terdahulu, terutama karya-karya yang ditulis pada abad pertengahan. Hal ini dapat dimaklumi karena di samping hal seperti ini dilakukan oleh ulama lain, juga pada waktu itu kecenderungan keilmuan Islam pada abad ke-13 Hijriyah masih diliputi tradisi taklid. Harus diakui bahwa Syekh Nawawiternyata mempunyai karya orisinil (bukan syarh atau hasyiyah), yakni Tafsir Murah.[19]
Uraian lebih jelas karya-karya Syekh Nawawi oleh M.Th.Moutsma dan A.J. Wensinch dkk, dan Harun ddi klasifikasikan ke dalam nomor-nomor berikut:
1)        Bidang Ilmu Kalam (Teologi Islam); diantaranya ialah Kitab Fath al-Majid (1298 H), Tijan al-Darari (1301 H), Kasyifah al-Suja (1292 H), Al-Nahjah al-Jadidah (1303 H), Zari’ah al-Yaqin ‘ala Umm al-Barahin (1317 H), Al-Risalah al-Jami’ah Bain Usul al-Din wa al-Fiqh wa al-Tasawuf (1292 H), Al-Simar al-Yani’ah (1299 H), Hilyah al-Sibyan ‘ala Fath Al-Rahman (tanpa tahun) dan Nur al-Zulam (1329 H).
2)      Bidang FBidang Fiqh (hukum Islam); Al-Tausyeh (1314 H), Sulam al-Munajat (1297 H), Nihayah al-Zain (1297 H), Mirqah al-Su’ud Al-Tasdiq (1292 H), Suluk Al-Jadah (1300 H), Al-Aqd Al-Samin (1300 H), Fath al-Mujib (1276 H), ‘Uqud al-Lujaen fi Bayan Huquq al-Zaujaen (1297 H), Qutul Habibi al-Garib (1301 H), dan Kasyifah al-Saja (1292 H). Karya-karya tersebut merujuk kepada Madzhab Syafi’I di mana beliau sebagai pengikutnya.
3)      Bidang Akhlak/Tasawuf. Perilaku sufinya nampak dalam kezuhudan dan ketaawaduannya. Tarekat yang diikutinya adalah tarekat Qadiriah, karena beliau sangat erat herat hubungannya dengan Kyai Abdul karim bin Bukhori bin Ali yang dikenal sebagai tokoh tarekat Al-Qadiriah di Mekah dan sama-sama berasal dari Tanara Banten. Tulisannya di bidang ini antara lain, Qami’ al-Tugyan ‘ala Manzumah Syu’ub al-Iman (1296 H), Salalim al-Fudala’ (1315 H), Misbah Al-Zulm’ala Manhaj al-Atam fi Tabwib al-Hukm (1314 H), Maraqi al-‘Ubudiyah (1298 H), dan Syarh ala manzumah Al-Syekh Muhammad Al-Dimyati fi al-Tawassul bi Asma’ Allah al-Husna (1302 H).
4)      Bidang Tarikh kelahiran/kehidupan Nabi Muhammad Saw. Seperti, Al-Ibrir Al-Dani (1299 H), Bugyah al-‘Awam (1207 H), Targib al-Mustaqin (1292 H), Madarij al-Su’ud ila Iktisa’il Burud (1296 H) dan Fath Samad (1292 H).
5)      Bidang Bahasa dan Kesusateraan Arab. Misalnya, Fath Gafir Al-Khotihiyah  ‘ala Al-Kawakib Al-Jaliyah fi Nazm Al-Jurimiyah (1298 H), Al-Fusush Al-Yaqutiyah (1299 H), Kasyf Al-Marutiyah (1292 H), dan Luba al-Bayan (1301 H).
6)      Bidang Tafsir-Hadis. Beliau menulis tafsir Murah atau Al-Munir (1305 H) yang terdiri dari dua jilid dan Tanqih al-Qaul (tanpa tahun) dalam bidang hadis.[20]
Sebenarnya masih banyak lagi buah karyanya, baik yang sudah dierbitkan maupun yang tidak diterbitkan dan seluruhnya berjumlah lebih dari 115 buah. Ada kitab yang belum selesai ditulisnya karena beliau meninggal dunia; yaitu Syarh Minhaj al-Talibin karya Imam Yahya bin Syarif atau dikenal dengan sebutan Imam Nawawi. Karena itu karya ini belum sempat diberi judul.[21]
Sepuluh tahun setelah terbit kitab tafsir Murah, Syekh Nawawi meninggal dunia, tepatnya tahun 1314 H/1897 M dengan meninggalkan karya-karya yang relatif lengkap dan orisinal.[22]
C.    Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi
1.      Struktur Ide Dasar dan Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Syekh Nawawi mempunyai ide-ide dasar (umum) pemikiran pendidikan Islam.
1.      Eksistensi alam yang rasional, dapat menjadi dasar pijakan dalam kerangka ilmu dan sekaligus menjadi asas berpikir ilmiah khususnya pengembangan kependidikan Islam
Tujuan alam ini diciptakan agar manusia dapat menggali nilai-nilai kebenaran dan kemanfaatan yang terkandung di dalamnya yang dapat mengarahkan manusia kepada pengakuan eksistensial dirinya sebagai hamba Allah, terutama untuk ma’rifatullah yakni iman tauhid.[23]
2.      Manusia berasal dari unsur materi dan immateri, diberi amanah taklif (pembebanan), berfungsi ‘ubudiyah dan khalifah (co creator), makhluk mukhayyar (kebebasan memilih), makhluk yang bertanggung jawab dan diberi berbagai daya yang penuh keajaiban (‘ajaib) dan misteri (garaib) serta diberi peluang untuk mencapai kemajuan
 Sifat dasar bawaan manusia ialah tauhid dualis dan proses perkembangannya bersifat interaktif/responsif. Lingkungan yang  buruk merupakan agen eksternal mendorong fitrah dualis yang negatif dan melengkapinya.[24] Begitupun sebaliknya.
 Fitrah tauhid dualis yang positif berakar dari Qalb Rabbaniyyah, Nafs Muhimah, Nafs Mutmainnah, Nafs Radiyah, dan Nafs Mardiyah. Sedangkan fitrah dualis yang negatif berakar dari Qalb Syaitaniyah, Qalb Sabu’iyyah dan Bahimiyyah, Nafs Ammarah dan Nafs Lawwamah.[25]  
3.      Hubungan antara individu dan sosial saling berpengaruh
Reformasi dan transformasi sosial dalam konsep Syekh Nawawi merupakan kewajiban komunal dalam wujud amar makruf dan nahi mungkar. Melalui konsep amar makruf dan nahi mungkar akan menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral sebagai konsekuensi dari fungsi manusia sebagai ‘ubudiyah dan khalifah (co creator) dan manusia sebagai bayang-bayang Tuhan.[26]
Aktivitas seseorang paling utama menurutnya ialah memberi manfaat kepada masyarakat terutama dengan ilmu baik dengan memberi fatwa, mengajar, mengarang, ataupun menelaah kitab. Karena aktivitas tersebut dapat memperbaiki pribadi-pribadi manusia dalam bingkai tatanan sosial yang bermoral.[27]
4.      Dasar dan sumber pemikiran pendidikan pendidikan Islam ialah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad baik ijtihad kolektif, maupun ijtihad individual
Karena adanya keterbatasan-keterbatasan manusia, maka kebenaran ilmu khususnya hasil ijtihad terhadap pendidikan Islam adalah nisbi, sedangkan kebenaran dari Allah ialah mutlak. Karena hasil ijtihad kebenarannya nisbi, maka ia tunduk di bawah kebenaran mutlak. Kebenaran religious berada di atas kebenaran korespondensi, koherensi dan pragmatis. Jalan memperoleh ilmu dapat melalui kasbiy, sima’iy, mukasyafah. Sedangkan alat yang digunakan untuk itu ialah potensi-potensi fisiologis dan psikologis.[28]
5.      Kekuatan pembentuk sruktur hubungan yang paling dalam ialah nilai ma’rifatullah berupa kekokohan iman tauhid dan mardatillah
 Setelah nilai ma’rifatullah ini terbentuk, maka sesudah itu akan memancarkan nilai-nilai hubungan lainnya. Yaitu hubungan manusia dengan Allah ialah nilai ‘ubudiyah dan istikhlaf; hubungan manusia dengan manusia ialah ta’awun, ‘adalah dan ihsan; hubungan manusia dengan alam ialah nilai taskhir dan pembelajaran; hubungan manusia dengan kehidupan ialah nilai ibtila’; hubungan manusia dengan ilmu ialah nilai kewajiban dan hubungan manusia dengan akhirat ialah mas’uliyah dan jaza’. Dunia yang baik (hasanah), ialah menyatu antara kehidupan kebendaan dan spiritual atau dunia akhirat. Maka segala usaha di dunia harus dikaitkan dengan tugas sebagai khalifah dan ‘ubudiyah untuk menguasai dan mengatur dunia ini agar sesuai dengan mardatillah dan menuju pada pengokohan ma’rifatullah.[29]
6.      Nilai-nilai sentral pendidikan yakni ma’rifatullah dan mardatillah akan memancarkan nilai-nilai instrumental dalam pendidikan Islam
Nilai agama yang dipahami oleh Syekh Nawawi (historisitas/kontekstual) dari Al-Qur’an dan As- Sunnah, harus menjadi filter dan pembentuk struktur paling dalam terhadap Nilai Teoretik, Nilai Ekonomi, Nilai Politik, Niali Estetika dalam kaitannya dengan pendidikan.[30]
2.      Aktivitas-Aktivitas Pendidikan Islam
Hakikat pendidikan Islam menurut Syekh Nawawi mencakup term ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Kerenanya mencakup transfer dan transformasi. Pendidikan tidak hanya mencakup pendidikan jasmani (praktik/amal), tetapi juga pendidikan intelektual, mental/spiritual yang berjalan sepanjang hidup.[31]
1)      Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam menurut Syekh Nawawi, merupakan refleksi dari fungsi ‘ubudiyah dan khalifah. Tujuan pendidikannya ada empat yakni:
1)      Agar memperoleh mardatillah dan kebahagiaan akhirat;
2)      Mencerdasakan dirinya dan orang lain;
3)      Menghidupkan dan mengabadikan Islam dengan kaidah-kaidah keilmuan;
4)      Bersyukur atas nikmat akal dan nikmat kesehatan/kekuatan badan (mencakup ranah kognitif dan keilmuan, segi afektif spiritual, dan segi psikomotorik).
Tujuan pendidikan tersebut mencakup lima aspek, yakni aspek pendidikan akhlak, akal, sosial kemasyarakatan, jasmani dan aspek profesional.[32]
2)      Posisi Guru
Guru dalam pengajarannya memegang prinsip metodik yakni memperlakukan peseta didiknya sesuai dengan keadaannya, seperti seorang dokter memberikan terapi kepada pasiennya sesuai dengan penyakitnya.
Untuk itu prinsip-prinsip metodik dalam pendidikan Islam adalah:
·         Menyajikan mata pelajaran harus jelas, dimulai dari yang mudah, yang konkrit, lalu bertahap kepada yang lebih sulit, kompleks dan abstrak;
·         Dalam penyampaian materi, pendidik harus melihat keadaan peserta didiknya;
·         Menggunakan metode mengajar sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didiknya;
·         Menghargai dan memperhatikan pendapat dan pertanyaan dari peserta didiknya;
·         Tidak menambah pelajaran atau memberikan penjelasan sebelum pelajaran yang terdahulu dipahami;
·         Guru tidak mendominasi percakapan sewaktu dalam proses pembelajaran, dan
·          Adanya prinsip al-tikrar (pengulangan) terhadap pelajaran yang memang belum dimengerti oleh peserta didiknya.[33]
3)      Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam
1)      Tauhid haruslah menjadi asas sentral dalam segala aktivitas pendidikan.
2)      Menyeimbangkan antara pendidikan moral-spiritual dan pendidikan akal.
3)      Mementingkan pendidikan jasmani (tubuh) dan pendidikan rohani.
4)      Menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
Berawal dari seseorang mencerdaskan dan memoralkan dirinya dan keluarganya, dan secara bersamaan pula mencerdaskan dan memoralkan masyarakatnya.
5)      Tanggung jawab pendidikan Islam berawal dari tanggung jawab keluarga, kemudian baru beralih kepada lembaga pendidikan lainnya.
6)      Fitrah manusia adalah fitrah tauhid dualis dan aksinya terhadap dunia luar, termasuk pendidikan bersifat interaktif/responsif.[34]
D.    Hal-hal yang Mewarnai Pemikiran Pendidikannya
Paling tidak ada empat hal yang mewarnai pemikiran pendidikannya, yaitu:
1)      Perkembangan pemikiran pendidikan Islam pada abad klasik, abad pertengahan dan abad modern.
2)      Latar belakang pendidikan keagamaan dan penguasaan ilmu keagamaannya yang sangat mumpuni.
3)      Prinsip-prinsip ajaran mazhab dan tarekat yang dianutnya.
4)      Para guru yang mendidik dan membentuk pribadinya.[35]
E.     Implikasi dari Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi
1)      Implikasi dari Tujuan Pendidikan Islam
Implikasi dari tujuan ini menempatkan Syekh Nawawi pada posisi memandang ilmu di samping sebagai sesuatu yang dicari untuk tujuan keilmuan itu sendiri (ilmu untuk ilmu), tetapi juga tujuan di luarnya yakni reformasi sosial (ilmu untuk kemajuan dan peradaban).[36]



2)      Implikasi dari Prinsip Pendidikan Islam
·         Pendidikan Islam mengarah pada teosentris yang ma’rifatullah, disamping antroposentris yang mengarah kepada kehidupan dunia saja. Antroposentris merupakan bagian integral dari teosentris.
Jika falsafah antroposentris mengatakan bahwa keberhasilan pendidikan dan kegagalan ditentukan oleh faktor endogen dan eksogen, sementara falsafah teosentris mengatakan bahwa keberhasilan dan kegagalan tidak hanya berhenti disitu, tetapi masih ada faktor lain.
 Dengan kata lain, Islam mengakui keberhasilan pendidikan Islam sangat ditentukan oleh hereditas (endogen) dan lingkungan (eksogen), namun harus atas bi ma’unatillah atau biidznillah.[37]
·         Fitrah manusia adalah fitrah tauhid dualis dan aksinya terhadap dunia luar, termasuk pendidikan bersifat interaktif/responsif.
Karena fitrah inilah maka mengharuskan penanggung jawab pendidikan melakukan revitalisasi budaya termasuk sarana pendidikannya untuk mendukung fitrah ketuhanan dan fitrah dualis yang positif, dan memperkecil, mengendalikan dan meredam munculnya fitrah dualis yang negatif.[38]

Sebagai implikasi dari pandangan Syekh Nawawi tersebut tentu terdapat dampak positif edukatif sebagai kelebihan darinya dan juga terdapat dampak negatif edukatif sebagai kekurangannya.[39]
Dampak Positif
Dampak edukatif positifnya ialah rasa tanggung jawab yang sangat kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa tanggung jawab moral itu. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggung jawab keagamaan yang sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekedar sebagai tugas-tugas profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab keagamaan sebagai titik sentral dalam pendidikan Islam, di samping tanggung jawab kemanusiaan baik dalam konstruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Tuntutan insaniyah (kemanusiaan) tidak sejalan dengan tujuan ilahiyah (keagamaan), maka yang harus didahulukan dan dimenangkan ialah tuntutan keagamaan. Karena kokohnya tanggung jawab pendidikan keagamaan dalam diri Syekh Nawawi, berimplikasi juga dalam tataran dana pendidikan. Menurutnya dana pendidikan Islam tidak hanya dibebankan kepada individu pembelajar, keluarga dan pemerintah, tetapi juga dibebankan kepada orang-orang yang mampu di kalangan umat Islam sebagai kewajiban komunal. Ternyata konsep pendanaan pendidikan tersebut pada masa sekarang ini lebih dioperasionalkan yang antara lain melalui perundang-undangan, melalui badan-badan wakaf untuk pendidikan dan pemberlakuan subsidi silang antara yang mampu dengan yang tidak mampu. Dalam perspektif pendidikan Islam modern, penyelenggaraan pendidikan bermutu akan lebih mudah dapat dicapai apabila didukung oleh dana yang memadai.[40]
Dampak Negatif
Dampak negatif edukatifnya menjadikan term al-ilm (ilmu) yang dalam Al-Qur’an dan Hadis bersifat mutlak tanpa batas menjadi bersifat terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan kecenderungan pendakian spiritual yang lebih menonjol, mendorong pemikiran pendidikan Islam ke arah pengabaian urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh dinikmati dan bisa dikerjakan. Oleh karena pemikiran pendidikannya terpusat padaa bingkai agama sekalipun rasional –terutama akidah tauhid, dan transformasi sosial- maka pengaturan kehidupan dunia akan diambil oleh orang-orang non Muslim. Hal ini menunjukkan sekaligus kketidak berdayaan umat Muslim untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam reformasi dan transformasi sosial.[41]


F.     Refleksi Pemikirannya dalam Dunia Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikannya masih relevan diaplikasikan baik yang menyangkut nilai-nilai dasar maupun aktivitas-aktivitas pendidikan Islam dalam masyarakat Indonesia yang religius dan majemuk.
Di antara prinsip-prinsip itu ialah tiga dimensi integral yakni dimensi teosentris, dimensi antroposentris, dan dimensi sunnatullah, dapat diaplikasikan dalam proses pendidikan sekarang ini.
·         Penekanan bahasa (ilmu muqaddimat) dalam materi pendidikan Islam penting artinya dalam memahami ilmu-ilmu keagamaan.
·         Sifat dasar (fitrah) peserta didik dan proses perkembangannya yaitu tauhid dualis-interaktif berpengaruh dalam proses pembelajaran pendidikan Islam dan paradigma ini mempunyai dampak positif bagi pemerhati pendidikan Islam.
·         Nilai sentral dan nilai instrumental penting artinya dalam pendidikan.
·         Biaya atau dana pendidikan yang dibebankan kepada orang-orang mampu di kalangan umat Islam termasuk prinsip-prinsip yang dapat direfleksikan dalam dunia pendidikan sekarang ini.
·         Prinsip dana silang adalah salah satu refleksi dari prinsip dana pendidikan di tanggung oleh orang-orang yang mampu di kalangan muslim.[42]

BAB III
PENUTUP
Nama lengkap Syekh Nawawi ialah Muhammad Nawawi bin Umar bin ‘Arabi. Beliau dikenal juga dengan sebutan Abu Abdul Mut’thi sebagai julukan nama dari anak laki-laki satu-satunya. Dalam kapasitas keulamaannya, beliau dikenal  dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Syekh al-Jawi al-Bantani.
Salah satu karya Imam Nawawi yang memperoleh pengakuan dan penghargaan para Ulama Mekah dan Mesir adalah tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzih. Kitab tafsir ini termasuk tafsir yang ilmiah dan lebih rasional di antara sebagian kitab tafsir sebelumnya. Kitab ini dipergunakan sebagai rujukan di Universitas al-Azhar, sehingga namanya terkenal di sana.
Beberapa pemikirannya yaitu:
1.      Tauhid haruslah menjadi asas sentral dalam segala aktivitas pendidikan.
2.      Menyeimbangkan antara pendidikan moral-spiritual dan pendidikan akal.
3.      Mementingkan pendidikan jasmani (tubuh) dan pendidikan rohani.
4.      Menyeimbangkan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
5.      Tanggung jawab pendidikan Islam berawal dari tanggung jawab keluarga, kemudian baru beralih kepada lembaga pendidikan lainnya.
Implikasinya yaitu:
1.      Pendidikan Islam mengarah pada teosentris yang ma’rifatullah, disamping antroposentris yang mengarah kepada kehidupan dunia saja. Antroposentris merupakan bagian integral dari teosentris.
Islam mengakui keberhasilan pendidikan Islam sangat ditentukan oleh hereditas (endogen) dan lingkungan (eksogen), namun harus atas bi ma’unatillah atau biidznillah.
2.      Fitrah manusia adalah fitrah tauhid dualis dan aksinya terhadap dunia luar, termasuk pendidikan bersifat interaktif/responsif.
Karena fitrah inilah maka mengharuskan penanggung jawab pendidikan melakukan revitalisasi budaya termasuk sarana pendidikannya untuk mendukung fitrah ketuhanan dan fitrah dualis yang positif, dan memperkecil, mengendalikan dan meredam munculnya fitrah dualis yang negatif.







DAFTAR PUSTAKA
H. M. Bibit Suprapto. 2009. ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar Media Indonesia.
Maragustam. 2007. Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani. Yogyakarta: Datamedia.
Martin Van Bruinessen. 1999. KITAB KUNING Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Nasution. 1983. Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Jemmars.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. 1992. ENSIKLOPEDI ISLAM INDONESIA. Jakarta: Djambatan.
Tobroni. 2008. PENDIDIKAN ISLAM Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis, Malang: UMM Press.











[1] Tobroni, PENDIDIKAN ISLAM Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis, Malang, UMM Press, 2008, hal. 23
[2] Maragustam, Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani, Yogyakarta, Datamedia, 2007, hal.99
[3] Maragustam, Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani, Yogyakarta, Datamedia, 2007, hal. 100
[4] Ibid., hal. 100
[5] Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, Bandung, Jemmars, 1983, hal. 3
[6] Maragustam, Pemikiran…,  hal. 101
[7] Suprapto, H. M. Bibit, ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta, Gelegar Media Indonesia, 2009, hal.653
[8] Suprapto, ENSIKLOPEDI…, hal.653
[9] Ibid, hal. 656

[10] Suprapto, ENSIKLOPEDI…, hal.653
[11] Van Bruinessen, Martin, KITAB KUNING Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1999, hal. 38
[12]Maragustam, Pemikiran…,  hal. 101
[13] Suprapto, ENSIKLOPEDI…, hal.654
[14] Maragustam, Pemikiran…, hal. 102
[15]Ibid,  hal.103
[16] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, ENSIKLOPEDI ISLAM INDONESIA, Jakarta, Djambatan, 1992, hal. 424
[17] Suprapto, ENSIKLOPEDI…, hal.656
[18] Tim Penulis…, ENSIKLOPEDI…,hal. 424
[19] Maragustam, Pemikiran…, hal. 107
[20]Ibid., hal. 108
[21] Ibid, hal. 108
[22] Ibid., hal. 108
[23] Ibid., hal. 272
[24] Ibid, hal. 273
[25] Ibid., hal. 273
[26] Ibid, hal. 273

[27] Ibid., hal. 273
[28] Ibid., hal. 273
[29] Ibid., hal. 274
[30] Ibid., hal. 274
[31] Ibid., hal. 274
[32] Ibid, hal. 274
[33] Ibid., hal. 275
[34] Ibid, hal. 276
[35] Ibid, hal. 278
[36] Ibid., hal. 274
[37] Ibid, hal. 275
[38] Ibid, hal. 276
[39] Ibid, hal. 276

[40] Ibid, hal. 278
[41] Ibid, hal. 278
[42] Ibid, hal. 279