PENDIDIKAN ISLAM DALAM PANDANGAN SYEKH NAWAWI AL-BANTANI DAN
IMPLIKASI DI ERA GLOBALISASI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen
Pengampu : Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A.
Disusun
oleh :
SRI LATIFAH NURDIANI
11410203
PAI-E
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam memandang bahwa Allah adalah sumber-sumber kebenaran dan pengetahuan.
Manusia diberi mandat untuk mencari dan mengembangkan pengetahuan dengan
potensi dan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa Allah
menyatakan kebenaran dengan berbagai cara: sabda, peristiwa, fenomena dan
budaya. Tugas manusia untuk mencarinya secara kritis.
Dalam mencari dan mengemukakan pengetahuan, manusia mengalami
proses belajar. Peristiwa belajar sudah tentu melibatkan keseluruhan dimensi
kepribadiannya. Dalam perbuatan belajar, intelek, emosi, kehendak, dan bagian-bagian
dari panca indera, semua ikut terlibat. Karena itulah keseluruhan aspek dari
diri kita ikut aktif menjadi instrumen untuk mengetahui, dan memperoleh
kebenaran Allah.[1]
Syekh Nawawi al-Bantani adalah salah satu ulama besar dari
Indonesia yang telah menyumbangakan pemikirannya terhadap dunia keilmuan Islam
dan pendidikan Islam dalam rangka pencarian kebenaran sebagaimana tugas manusia
untuk mengoptimalkan potensi akalnya.
Syekh Nawawi sangat produktif mengarang kitab. Ia banyak dikenal
terutama di kalangan para santri dan ulama Indonesia, dengan sebutan Syekh
Nawawi al-Bantani.[2]
Bagaimanakah sosoknya? Bagaimanakah pemikiran pendidikan dan implikasinya
terhadap dunia pendidikan Islam? Semuanya akan mencoba penulis paparkan dalam
makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapa
Syekh Nawawi al-Bantani?
2.
Apa
saja karya-karyanya?
3.
Bagaimana
pemikiran pendidikannya?
4.
Apa
saja hal-hal yang mewarnai pemikiran pendidikannya?
5.
Apa
saja implikasi dari pemikiran pendidikannya?
6.
Bagaimana
refleksinya dalam pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani (1813-1897 M)
Nama lengkap Syekh Nawawi ialah Muhammad Nawawi bin Umar bin
‘Arabi. Beliau dikenal juga dengan sebutan Abu Abdul Mut’thi sebagai julukan
nama dari anak laki-laki satu-satunya. Dalam kapasitas keulamaannya, beliau dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Syekh
al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang,
Banten, Jawa Barat pada tahun 1813 M/1230 H dan wafat di Ma’la Mekkah Saudi
Arabia pada tahun 1897 M, bertepatan dengan tanggal 25 Syawal tahun 1314 H,
dalam usia 84 tahun, tanpa menyebutkan tanggal lahirnya.[3]
Syekh Nawawi
lebih populer dengan julukan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz. Melalui pelacakan geneologi, bahwa
Syekh Nawawi merupakan keturunan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putera Maulana Hasanuddin
(Sultan Banten 1) yang bernama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Pada tahun
kelahirannya ini, Kesultanan Banten berada pada periode terakhir yang pada
waktu itu diperintah oleh Sultan Muhammad Rafi’uddin (1813-1820). Melalui
bapaknya yang bernama Umar bin ‘arabi dan ibunya yang bernama Zubaedah, Syekh
Nawawi hidup dalam keluarga yang miskin dan di lingkungan ulama. Ayahnya
seorang penghulu kecamatan dan pemimpin masjid serta pendidik Muslim di Tanara.
Ayahnya ikut menyokong bagi perkembangan jiwa keagamaan Nawawi. Di samping itu,
Syekh Nawawi punya kesadaran untuk tidak ikut terbawa arus kebodohan yang
diciptakan oleh kaum penjajah Belanda.[4]
Orang Belanda
datang ke Indonesia bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang. Mereka
dimotivasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya,
sekalipun harus mengarungi laut yang berbahaya sejauh ribuan kilometer dalam
kapal layar kecil untuk mengambil rempah-rempah dari Indonesia. Namun pedagang
itu merasa perlunya memiliki tempat yang permanen di daratan daripada berdagang
dari kapal yang berlabuh di laut. Kantor dagang itu kemudian mereka perkuat dan
persenjatai dan menjadi benteng yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai
daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat
komersial menjadi basis politik dan teritorial. Setelah peperangan kolonial
yang banyak akhirnya Indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan Belanda.
Namun perluasan daerah jajahan ini baru selesai pada permulaan abad keduapuluh.[5]
Keadaan agama Islam di Banten nampak begitu kelabu.
Semenjak berakhirnya Sultan Banten yang pertama, dibawah kepemimpinan Sultan
Hasanuddin yang memerintah dari tahun 1550-1570, maka kejayaan Islam Banten
berangsur-angsur surut. Dan klimaks dari kemunduran itu adalah ketika raja
Banten berakhir, Pangeran Ahmad, ditangkap dan diasingkan oleh Raffles ke
Surabaya. Kerajaan Banten dihapuskan dan Banten menjadi monumen dari sejarah
perkembangan Islam.[6]
Masyarakat
Banten termasuk masyarakat yang kuat memegang ajaran agamanya dan cenderung
fanatik. Dengan jatuhnya kedaulatan Kesultanan Banten ke tangan penjajah
Belanda, maka rakyat Banten semakin menderita, apalagi semasa Cultuur
Stelsel (tanam paksa). Penderitaan ini secara umum lebih berat dibanding
daerah lain di Indonesia, walaupun sama-sama anak jajahan. Penderitaan
dan kemelaratan rakyat Banten terungkap melalui buku karya Multatli (Douwes
Dekker) mantan presiden di Lebak Banten, yang berjudul Max Havelaar
berisi kisah penderitaan Saijah dan Adinda.[7]
Di balik
penderitaan pada pertengahan abad ke-19 tersebut, bumi Banten justru bangkit
dengan berbagai macam perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Salah satu
yang terkenal adalah pemberontakan Cilegon 1888 yang dipimpin oleh Haji Wasid
dan Tubagus Haji Ismail. Mereka yang terjun dalam peristiwa Cilegon tersebut
tidak terlepas dari pengaruh dua ulama besar Banten, Syeikh Nawawi al-Bantani
dan Syeikh Abdul Karim al-Bantani. Keduanya bermukim dan belajar di Mekkah,
pernah pulang dan mendirikan pesantren di Banten untuk beberapa waktu dan
kembali ke Mekah hingga akhir hayatnya, tetapi pengaruh mereka tetap luar biasa
di Banten. Baik Syeikh Abdul Karim maupun Syeikh Nawawi adalah murid Syeikh
Ahmad Khatib Sambas, bedanya Syeih Abdul Karim mewarisi gurunya di bidang
tarekat sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, sedangkan
Syeikh Nawawi sebagai pewaris gurunya di bidang keilmuan Islam ataupun
pemikiran.[8]
Murid-murid
Syeikh Nawawi al-Bantani banyak sekali dan tidak hanya terbatas dari kalangan
al-Jawi (melayu), tetapi juga dari belahan dunia lainnya. Dari kalangan al-Jawi
diantara murid-muridnya adalah Syeikh Muhammad Dawud (Perak, Malaysia), K.H.
Asy’ari (Bawean, Gresik), K.H. Hasyim Asy’ari (Jombang, pendiri Nahdlatul
Ulama) dan K.H. Raden Asnawi (Kudus). Syeikh Nawawi al-Bantani al-Jawi wafat di
Mekah tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah bertepatan tahun 1897 Masehi. Walaupun
ulama besar ini telah wafat, tetapi kitab-kitab karangannya banyak dibaca orang
hingga sekarang.[9]
Ulama Indonesia di Makkah
Syeikh Nawawi
al-Bantani adalah seorang ulama besar dari kalangan al-Jawi (melayu), penulis
produktif, imam dan pendidik di Masjid al-Haram Mekah, yang mampu mengangkat
citra ulama dan murid di kalangan al-Jawi di hadapan ulama-ulama Timur Tengah.
Ia mendapatkan gelar Sayyidu ‘Ulama’i al-Hijaz (Kampiun-nya ulama Hijaz)
karena kealimannya dari Universitas al-Azhar Kairo. Pengakuan dari perguruan
tinggi Islam tertua dan paling bergengsi itu tentunya sudah melalui penelitian
yang objektif dan tidak main-main. Disamping itu beliau juga terkenal sebagai
ulama ahli fikih dan ahli tafsir yang mumpuni pada zamannya, di kawasan Hijaz.[10]
Tiga
ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram pada saat itu mempunyai
pengaruh besar di kalangan sesama orang Nusantara dan mempengaruhi generasi
berikutnya melalui pengikut-pengikut dan tulisan-tulisannya. Nawawi Banten
(wafat 1896-7) yang dipuji Snouck sebagai orang Indonesia yang paling alim dan
rendah hati adalah pengarang paling produktif. Disamping kitab tafsirnya yang
terkenal, dia menulis kitab dalam setiap disiplin ilmu yang dipelajari di
pesantren. Berbeda dengan pengarang Indonesia sebelumnya, dia menulis dalam
bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan syarah atas kitab-kitab yang telah
digunakan di pesantren dan menjelaskan, melengkapi atau terkadang mengoreksi matan
yang disyarahi. Sejumlah syarahnya benar-benar menggantikan matan asli
dalam kurikulum pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya (dia menulis paling
sedikit dua kali jumlah itu) masih beredar, dn 11 judul dari kitab-kitabnya
termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan di pesantren. Nawawi berdiri
pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren. Dia memperkenalkan
dan menafsirkan kembali warisan intelektualnya, dan memperkayanya dengan
menulis karya-karya baru berdasarkan kitab-kitab yang belum dikenal di
Indonesia pada zamannya. Semua kiai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek
moyang intelektual mereka. Bahkan Ahmad Khatib Minangkabau, bapak reformis
Islam Indonesia pun termasuk muridnya. [11]
Pendidikan dan Guru-Gurunya
Sejak kecil,
Nawawi telah diarahkan ayahnya untuk menjadi seorang ulama. Atas bimbingannya,
Nawawi menempuh berbagai rintangan dan hambatan demi hambatan dalam menuntut
ilmu. Ia tidak hanya belajar tentang berbagai ilmu, tapi juga pembenahan akhlak
dan kearifan. [12]
Karena faktor
keturunan/keluarga inilah yang sangat berpengaruh terhadap pembinaan karakter
Syekh Nawawi, maka tidak heran kematangannya dalam keilmuan maupun karakter
sangat kuat.
Setelah berumur
15 tahun, ia menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah dan bermukim disana
selama tiga tahun (1830-1833). Ia belajar kepada ulama-ulama terkenal seperti
Syaikh Nahrawi, Syeikh Ahmad Zaini Dahlan dan Syeikh Ahmad Dimyati. Di samping
itu, Nawawi juga belajar kepada Syeikh Muhammad Khatib al-Hanbali di Madinah.
Setelah tiga tahun di tanah suci, ulama muda ini pulang kembali ke kampung
halamannya dan membantu ayahnya mengajar di pesantren. Tetapi ternyata ia tidak
betah tinggal lama di tanah air, karena situasi politik yang kurang
menguntungkan.[13]
Ulama yang
cukup mewarnai prinsip keilmuan dan jalan pikiran Syekh Nawawi adalah Syekh
Sayyid Akhmad Nakhrawi dan Syekh Sayyid Ahmad Dimyathi. Sebab dua ulama inilah
yang mula-mula membimbing Nawawi dalam berbagai disiplin ilmu, membentuk
karakternya dengan sikap positif di dalam menghadapi goncangan psikologis yang
ada dan mengajari untuk selalu memegang nilai-nilai agama dan memantapkan
prinsip akidah. Selain mereka ialah Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh
Muhammad Khatib Hambali. Antara tahun 1830-1860, Nawawi menghabiskan waktunya
untuk menuntut ilmu.[14]
Kecerdasan dan
ketekunannya mengantarkannya menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjid
Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjid Haram, Nawawi
ditunjuk menggantikannya. Sejak itulah ia menjadi imam Masjid Haram dengan
panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Dalam waktu senggang, antara tahun 1860-1870 ia
mengajar di Masjid Haram, sebab antara tahun-tahun tersebut, Syekh Nawawi sudah
secara aktif menulis berbagai kitab. Tetapi setelah tahun 1870 ia fokuskan
aktivitasnya untuk menulis.[15]
B.
Karya-Karya Syekh Nawawi
Salah satu
karya Imam Nawawi yang memperoleh pengakuan dan penghargaan para Ulama Mekah
dan Mesir adalah tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzih.[16]
Kitab tafsir ini termasuk tafsir yang ilmiah dan lebih rasional di antara
sebagian kitab tafsir sebelumnya. Kitab ini dipergunakan sebagai rujukan di
Universitas al-Azhar, sehingga namanya terkenal di sana.[17]
Ketika naskah karya ini selesai, 1886 (5 Rabiul akhir 1305 H), terlebih dahulu
disodorkan kepada para ulama Mekah dan, kemudian, para ulama Mesir yntuk
diteliti. Akhirnya, kitab tafsir tersebut diterbitkan di Mesir. Atas dasar
prestasi besar yang telah berhasil ditunjukkan Imam Nawawi ini, para ulama
Mesir menganugerahkan gelar kepadanya, “Sayyid ‘Ulama al-Hijaz” (pemimpin
Ulama Hijaz). Sebagai rasa syukur atas anugerah tersebut, kemudian Imam Nawawi
menyusun suatu risalah dalam bentuk puisi, Manzumah. Dalam salah satu
kalimatnya ia menulis: “sungguh, ilmu itu cahaya yang menerangi pemiliknya. Di
mana pun ia berada, akan senantiasa dimuliakan.”[18]
Kebanyakan hasil karyanya ialah berupa syarh (penjelasan)
atau hasyiyah/hamisy (catatan pinggir) atas karya ulama kenamaan
terdahulu, terutama karya-karya yang ditulis pada abad pertengahan. Hal ini
dapat dimaklumi karena di samping hal seperti ini dilakukan oleh ulama lain,
juga pada waktu itu kecenderungan keilmuan Islam pada abad ke-13 Hijriyah masih
diliputi tradisi taklid. Harus diakui bahwa Syekh Nawawiternyata mempunyai
karya orisinil (bukan syarh atau hasyiyah), yakni Tafsir Murah.[19]
Uraian lebih jelas karya-karya Syekh Nawawi oleh M.Th.Moutsma dan
A.J. Wensinch dkk, dan Harun ddi klasifikasikan ke dalam nomor-nomor berikut:
1) Bidang Ilmu Kalam (Teologi
Islam); diantaranya ialah Kitab Fath al-Majid (1298 H), Tijan
al-Darari (1301 H), Kasyifah al-Suja (1292 H), Al-Nahjah
al-Jadidah (1303 H), Zari’ah al-Yaqin ‘ala Umm al-Barahin (1317 H), Al-Risalah
al-Jami’ah Bain Usul al-Din wa al-Fiqh wa al-Tasawuf (1292 H), Al-Simar
al-Yani’ah (1299 H), Hilyah al-Sibyan ‘ala Fath Al-Rahman (tanpa tahun) dan Nur
al-Zulam (1329 H).
2) Bidang FBidang Fiqh (hukum Islam); Al-Tausyeh (1314 H), Sulam
al-Munajat (1297 H), Nihayah al-Zain (1297 H), Mirqah al-Su’ud
Al-Tasdiq (1292 H), Suluk Al-Jadah (1300 H), Al-Aqd Al-Samin
(1300 H), Fath al-Mujib (1276 H), ‘Uqud al-Lujaen fi Bayan Huquq
al-Zaujaen (1297 H), Qutul Habibi al-Garib (1301 H), dan Kasyifah
al-Saja (1292 H). Karya-karya tersebut merujuk kepada Madzhab Syafi’I di
mana beliau sebagai pengikutnya.
3) Bidang Akhlak/Tasawuf. Perilaku sufinya nampak dalam kezuhudan dan
ketaawaduannya. Tarekat yang diikutinya adalah tarekat Qadiriah, karena beliau
sangat erat herat hubungannya dengan Kyai Abdul karim bin Bukhori bin Ali yang
dikenal sebagai tokoh tarekat Al-Qadiriah di Mekah dan sama-sama berasal dari
Tanara Banten. Tulisannya di bidang ini antara lain, Qami’ al-Tugyan ‘ala
Manzumah Syu’ub al-Iman (1296 H), Salalim al-Fudala’ (1315 H), Misbah
Al-Zulm’ala Manhaj al-Atam fi Tabwib al-Hukm (1314 H), Maraqi
al-‘Ubudiyah (1298 H), dan Syarh ala manzumah Al-Syekh Muhammad
Al-Dimyati fi al-Tawassul bi Asma’ Allah al-Husna (1302 H).
4) Bidang Tarikh kelahiran/kehidupan Nabi Muhammad Saw. Seperti, Al-Ibrir
Al-Dani (1299 H), Bugyah al-‘Awam (1207 H), Targib al-Mustaqin (1292
H), Madarij al-Su’ud ila Iktisa’il Burud (1296 H) dan Fath Samad (1292
H).
5) Bidang Bahasa dan Kesusateraan Arab. Misalnya, Fath Gafir
Al-Khotihiyah ‘ala Al-Kawakib Al-Jaliyah
fi Nazm Al-Jurimiyah (1298 H), Al-Fusush Al-Yaqutiyah (1299 H),
Kasyf Al-Marutiyah (1292 H), dan Luba al-Bayan (1301 H).
6) Bidang Tafsir-Hadis. Beliau menulis tafsir Murah atau Al-Munir
(1305 H) yang terdiri dari dua jilid dan Tanqih al-Qaul (tanpa tahun)
dalam bidang hadis.[20]
Sebenarnya masih banyak lagi buah karyanya, baik yang sudah
dierbitkan maupun yang tidak diterbitkan dan seluruhnya berjumlah lebih dari
115 buah. Ada kitab yang belum selesai ditulisnya karena beliau meninggal
dunia; yaitu Syarh Minhaj al-Talibin karya Imam Yahya bin Syarif atau
dikenal dengan sebutan Imam Nawawi. Karena itu karya ini belum sempat diberi
judul.[21]
Sepuluh tahun setelah terbit kitab tafsir Murah, Syekh
Nawawi meninggal dunia, tepatnya tahun 1314 H/1897 M dengan meninggalkan
karya-karya yang relatif lengkap dan orisinal.[22]
C.
Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi
1.
Struktur Ide Dasar dan Nilai-Nilai Pendidikan Islam
Syekh Nawawi mempunyai ide-ide dasar (umum) pemikiran
pendidikan Islam.
1.
Eksistensi alam yang rasional, dapat menjadi dasar pijakan dalam kerangka
ilmu dan sekaligus menjadi asas berpikir ilmiah khususnya pengembangan
kependidikan Islam
Tujuan alam ini diciptakan agar manusia dapat
menggali nilai-nilai kebenaran dan kemanfaatan yang terkandung di dalamnya yang
dapat mengarahkan manusia kepada pengakuan eksistensial dirinya sebagai hamba
Allah, terutama untuk ma’rifatullah yakni iman tauhid.[23]
2. Manusia berasal dari unsur materi dan immateri, diberi amanah taklif (pembebanan),
berfungsi ‘ubudiyah dan khalifah (co creator), makhluk mukhayyar
(kebebasan memilih), makhluk yang bertanggung jawab dan diberi berbagai daya
yang penuh keajaiban (‘ajaib) dan misteri (garaib) serta diberi peluang
untuk mencapai kemajuan
Sifat
dasar bawaan manusia ialah tauhid dualis dan proses perkembangannya bersifat
interaktif/responsif. Lingkungan yang
buruk merupakan agen eksternal mendorong fitrah dualis yang negatif dan
melengkapinya.[24] Begitupun sebaliknya.
Fitrah tauhid dualis yang positif berakar dari
Qalb Rabbaniyyah, Nafs Muhimah, Nafs Mutmainnah, Nafs
Radiyah, dan Nafs Mardiyah. Sedangkan fitrah dualis yang negatif
berakar dari Qalb Syaitaniyah, Qalb Sabu’iyyah dan Bahimiyyah,
Nafs Ammarah dan Nafs Lawwamah.[25]
3. Hubungan antara individu dan sosial saling berpengaruh
Reformasi dan transformasi sosial dalam konsep
Syekh Nawawi merupakan kewajiban komunal dalam wujud amar makruf dan nahi
mungkar. Melalui konsep amar makruf dan nahi mungkar akan menciptakan sebuah
tata sosial yang bermoral sebagai konsekuensi dari fungsi manusia sebagai ‘ubudiyah
dan khalifah (co creator) dan manusia sebagai bayang-bayang Tuhan.[26]
Aktivitas seseorang paling utama menurutnya
ialah memberi manfaat kepada masyarakat terutama dengan ilmu baik dengan
memberi fatwa, mengajar, mengarang, ataupun menelaah kitab. Karena aktivitas
tersebut dapat memperbaiki pribadi-pribadi manusia dalam bingkai tatanan sosial
yang bermoral.[27]
4. Dasar dan sumber pemikiran
pendidikan pendidikan Islam ialah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad baik ijtihad
kolektif, maupun ijtihad individual
Karena adanya keterbatasan-keterbatasan manusia,
maka kebenaran ilmu khususnya hasil ijtihad terhadap pendidikan Islam adalah
nisbi, sedangkan kebenaran dari Allah ialah mutlak. Karena hasil ijtihad kebenarannya nisbi, maka ia tunduk di bawah
kebenaran mutlak. Kebenaran religious berada di atas kebenaran korespondensi,
koherensi dan pragmatis. Jalan memperoleh ilmu dapat melalui kasbiy,
sima’iy, mukasyafah. Sedangkan alat yang digunakan untuk itu ialah
potensi-potensi fisiologis dan psikologis.[28]
5. Kekuatan pembentuk sruktur hubungan
yang paling dalam ialah nilai ma’rifatullah berupa kekokohan iman tauhid dan
mardatillah
Setelah nilai ma’rifatullah ini terbentuk, maka sesudah itu akan
memancarkan nilai-nilai hubungan lainnya. Yaitu hubungan manusia dengan Allah
ialah nilai ‘ubudiyah dan istikhlaf; hubungan manusia dengan
manusia ialah ta’awun, ‘adalah dan ihsan; hubungan manusia
dengan alam ialah nilai taskhir dan pembelajaran; hubungan manusia
dengan kehidupan ialah nilai ibtila’; hubungan manusia dengan ilmu ialah
nilai kewajiban dan hubungan manusia dengan akhirat ialah mas’uliyah dan
jaza’. Dunia yang baik (hasanah), ialah menyatu antara kehidupan
kebendaan dan spiritual atau dunia akhirat. Maka segala usaha di dunia harus
dikaitkan dengan tugas sebagai khalifah dan ‘ubudiyah untuk menguasai
dan mengatur dunia ini agar sesuai dengan mardatillah dan menuju pada
pengokohan ma’rifatullah.[29]
6. Nilai-nilai sentral pendidikan yakni
ma’rifatullah dan mardatillah akan memancarkan nilai-nilai instrumental dalam
pendidikan Islam
Nilai agama yang dipahami oleh Syekh Nawawi (historisitas/kontekstual)
dari Al-Qur’an dan As- Sunnah, harus menjadi filter dan pembentuk struktur
paling dalam terhadap Nilai Teoretik, Nilai Ekonomi, Nilai Politik, Niali
Estetika dalam kaitannya dengan pendidikan.[30]
2.
Aktivitas-Aktivitas Pendidikan Islam
Hakikat pendidikan Islam menurut Syekh Nawawi mencakup term
ta’lim, tarbiyah dan ta’dib. Kerenanya mencakup transfer dan
transformasi. Pendidikan tidak hanya mencakup pendidikan jasmani
(praktik/amal), tetapi juga pendidikan intelektual, mental/spiritual yang
berjalan sepanjang hidup.[31]
1)
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam menurut
Syekh Nawawi, merupakan refleksi dari fungsi ‘ubudiyah dan khalifah.
Tujuan pendidikannya ada empat yakni:
1)
Agar
memperoleh mardatillah dan kebahagiaan akhirat;
2)
Mencerdasakan
dirinya dan orang lain;
3)
Menghidupkan
dan mengabadikan Islam dengan kaidah-kaidah keilmuan;
4)
Bersyukur
atas nikmat akal dan nikmat kesehatan/kekuatan badan (mencakup ranah kognitif
dan keilmuan, segi afektif spiritual, dan segi psikomotorik).
Tujuan pendidikan tersebut mencakup
lima aspek, yakni aspek pendidikan akhlak, akal, sosial kemasyarakatan, jasmani
dan aspek profesional.[32]
2)
Posisi Guru
Guru dalam
pengajarannya memegang prinsip metodik yakni memperlakukan peseta didiknya
sesuai dengan keadaannya, seperti seorang dokter memberikan terapi kepada pasiennya
sesuai dengan penyakitnya.
Untuk itu prinsip-prinsip
metodik dalam pendidikan Islam adalah:
·
Menyajikan
mata pelajaran harus jelas, dimulai dari yang mudah, yang konkrit, lalu
bertahap kepada yang lebih sulit, kompleks dan abstrak;
·
Dalam
penyampaian materi, pendidik harus melihat keadaan peserta didiknya;
·
Menggunakan
metode mengajar sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didiknya;
·
Menghargai
dan memperhatikan pendapat dan pertanyaan dari peserta didiknya;
·
Tidak
menambah pelajaran atau memberikan penjelasan sebelum pelajaran yang terdahulu
dipahami;
·
Guru
tidak mendominasi percakapan sewaktu dalam proses pembelajaran, dan
·
Adanya prinsip al-tikrar (pengulangan)
terhadap pelajaran yang memang belum dimengerti oleh peserta didiknya.[33]
3)
Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam
1)
Tauhid
haruslah menjadi asas sentral dalam segala aktivitas pendidikan.
2)
Menyeimbangkan
antara pendidikan moral-spiritual dan pendidikan akal.
3)
Mementingkan
pendidikan jasmani (tubuh) dan pendidikan rohani.
4)
Menyeimbangkan
antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
Berawal dari seseorang mencerdaskan dan memoralkan dirinya dan
keluarganya, dan secara bersamaan pula mencerdaskan dan memoralkan
masyarakatnya.
5)
Tanggung
jawab pendidikan Islam berawal dari tanggung jawab keluarga, kemudian baru
beralih kepada lembaga pendidikan lainnya.
6)
Fitrah
manusia adalah fitrah tauhid dualis dan aksinya terhadap dunia luar, termasuk
pendidikan bersifat interaktif/responsif.[34]
D.
Hal-hal yang Mewarnai Pemikiran Pendidikannya
Paling tidak ada empat hal yang mewarnai pemikiran pendidikannya,
yaitu:
1) Perkembangan pemikiran pendidikan Islam pada abad klasik, abad
pertengahan dan abad modern.
2) Latar belakang pendidikan keagamaan dan penguasaan ilmu
keagamaannya yang sangat mumpuni.
3) Prinsip-prinsip ajaran mazhab dan tarekat yang dianutnya.
4) Para guru yang mendidik dan membentuk pribadinya.[35]
E.
Implikasi dari Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi
1)
Implikasi dari Tujuan Pendidikan Islam
Implikasi dari tujuan ini
menempatkan Syekh Nawawi pada posisi memandang ilmu di samping sebagai sesuatu
yang dicari untuk tujuan keilmuan itu sendiri (ilmu untuk ilmu), tetapi juga
tujuan di luarnya yakni reformasi sosial (ilmu untuk kemajuan dan peradaban).[36]
2)
Implikasi dari Prinsip Pendidikan Islam
·
Pendidikan
Islam mengarah pada teosentris yang ma’rifatullah, disamping
antroposentris yang mengarah kepada kehidupan dunia saja. Antroposentris
merupakan bagian integral dari teosentris.
Jika falsafah antroposentris mengatakan bahwa keberhasilan
pendidikan dan kegagalan ditentukan oleh faktor endogen dan eksogen, sementara
falsafah teosentris mengatakan bahwa keberhasilan dan kegagalan tidak hanya
berhenti disitu, tetapi masih ada faktor lain.
Dengan kata lain, Islam
mengakui keberhasilan pendidikan Islam sangat ditentukan oleh hereditas
(endogen) dan lingkungan (eksogen), namun harus atas bi ma’unatillah
atau biidznillah.[37]
·
Fitrah
manusia adalah fitrah tauhid dualis dan aksinya terhadap dunia luar, termasuk
pendidikan bersifat interaktif/responsif.
Karena fitrah inilah maka mengharuskan penanggung jawab pendidikan
melakukan revitalisasi budaya termasuk sarana pendidikannya untuk mendukung
fitrah ketuhanan dan fitrah dualis yang positif, dan memperkecil, mengendalikan
dan meredam munculnya fitrah dualis yang negatif.[38]
Sebagai implikasi dari pandangan Syekh Nawawi tersebut tentu
terdapat dampak positif edukatif sebagai kelebihan darinya dan juga terdapat
dampak negatif edukatif sebagai kekurangannya.[39]
Dampak Positif
Dampak edukatif positifnya ialah rasa tanggung jawab yang sangat
kuat telah menghujam pada pemikiran pendidikannya, dan mengukuhkan rasa
tanggung jawab moral itu. Penghargaannya terhadap persoalan pendidikan Islam
sangat tinggi, bahkan menilainya sebagai wujud tanggung jawab keagamaan yang
sangat luhur. Tugas mengajar dan belajar tidak sekedar sebagai tugas-tugas
profesi kerja dan tugas-tugas kemanusiaan tetapi lebih jauh dari itu yakni
sebagai tuntutan kewajiban agama. Tanggung jawab keagamaan sebagai titik
sentral dalam pendidikan Islam, di samping tanggung jawab kemanusiaan baik
dalam konstruksi tataran konsep maupun tataran aplikasi pendidikan. Tuntutan
insaniyah (kemanusiaan) tidak sejalan dengan tujuan ilahiyah
(keagamaan), maka yang harus didahulukan dan dimenangkan ialah tuntutan
keagamaan. Karena kokohnya tanggung jawab pendidikan keagamaan dalam diri Syekh
Nawawi, berimplikasi juga dalam tataran dana pendidikan. Menurutnya dana
pendidikan Islam tidak hanya dibebankan kepada individu pembelajar, keluarga
dan pemerintah, tetapi juga dibebankan kepada orang-orang yang mampu di
kalangan umat Islam sebagai kewajiban komunal. Ternyata konsep pendanaan
pendidikan tersebut pada masa sekarang ini lebih dioperasionalkan yang antara
lain melalui perundang-undangan, melalui badan-badan wakaf untuk pendidikan dan
pemberlakuan subsidi silang antara yang mampu dengan yang tidak mampu. Dalam
perspektif pendidikan Islam modern, penyelenggaraan pendidikan bermutu akan
lebih mudah dapat dicapai apabila didukung oleh dana yang memadai.[40]
Dampak Negatif
Dampak negatif edukatifnya menjadikan term al-ilm (ilmu)
yang dalam Al-Qur’an dan Hadis bersifat mutlak tanpa batas menjadi bersifat
terbatas hanya pada ilmu-ilmu keagamaan, dan kecenderungan pendakian spiritual
yang lebih menonjol, mendorong pemikiran pendidikan Islam ke arah pengabaian
urusan dunia dengan segala kemanfaatan dan amal usaha yang sebenarnya boleh
dinikmati dan bisa dikerjakan. Oleh karena pemikiran pendidikannya terpusat
padaa bingkai agama sekalipun rasional –terutama akidah tauhid, dan
transformasi sosial- maka pengaturan kehidupan dunia akan diambil oleh
orang-orang non Muslim. Hal ini menunjukkan sekaligus kketidak berdayaan umat
Muslim untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam reformasi dan
transformasi sosial.[41]
F.
Refleksi Pemikirannya dalam Dunia Pendidikan Islam
Pemikiran pendidikannya masih relevan diaplikasikan baik yang
menyangkut nilai-nilai dasar maupun aktivitas-aktivitas pendidikan Islam dalam
masyarakat Indonesia yang religius dan majemuk.
Di antara prinsip-prinsip itu ialah tiga dimensi integral yakni
dimensi teosentris, dimensi antroposentris, dan dimensi sunnatullah, dapat
diaplikasikan dalam proses pendidikan sekarang ini.
·
Penekanan
bahasa (ilmu muqaddimat) dalam materi pendidikan Islam penting artinya
dalam memahami ilmu-ilmu keagamaan.
·
Sifat
dasar (fitrah) peserta didik dan proses perkembangannya yaitu tauhid
dualis-interaktif berpengaruh dalam proses pembelajaran pendidikan Islam dan
paradigma ini mempunyai dampak positif bagi pemerhati pendidikan Islam.
·
Nilai
sentral dan nilai instrumental penting artinya dalam pendidikan.
·
Biaya
atau dana pendidikan yang dibebankan kepada orang-orang mampu di kalangan umat
Islam termasuk prinsip-prinsip yang dapat direfleksikan dalam dunia pendidikan
sekarang ini.
·
Prinsip
dana silang adalah salah satu refleksi dari prinsip dana pendidikan di tanggung
oleh orang-orang yang mampu di kalangan muslim.[42]
BAB III
PENUTUP
Nama lengkap Syekh Nawawi ialah Muhammad Nawawi bin Umar bin
‘Arabi. Beliau dikenal juga dengan sebutan Abu Abdul Mut’thi sebagai julukan
nama dari anak laki-laki satu-satunya. Dalam kapasitas keulamaannya, beliau dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Syekh
al-Jawi al-Bantani.
Salah
satu karya Imam Nawawi yang memperoleh pengakuan dan penghargaan para Ulama
Mekah dan Mesir adalah tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzih. Kitab
tafsir ini termasuk tafsir yang ilmiah dan lebih rasional di antara sebagian kitab
tafsir sebelumnya. Kitab ini dipergunakan sebagai rujukan di Universitas
al-Azhar, sehingga namanya terkenal di sana.
Beberapa
pemikirannya yaitu:
1.
Tauhid
haruslah menjadi asas sentral dalam segala aktivitas pendidikan.
2.
Menyeimbangkan
antara pendidikan moral-spiritual dan pendidikan akal.
3.
Mementingkan
pendidikan jasmani (tubuh) dan pendidikan rohani.
4.
Menyeimbangkan
antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
5.
Tanggung
jawab pendidikan Islam berawal dari tanggung jawab keluarga, kemudian baru beralih
kepada lembaga pendidikan lainnya.
Implikasinya yaitu:
1.
Pendidikan
Islam mengarah pada teosentris yang ma’rifatullah, disamping
antroposentris yang mengarah kepada kehidupan dunia saja. Antroposentris
merupakan bagian integral dari teosentris.
Islam mengakui keberhasilan pendidikan Islam sangat ditentukan oleh
hereditas (endogen) dan lingkungan (eksogen), namun harus atas bi
ma’unatillah atau biidznillah.
2.
Fitrah
manusia adalah fitrah tauhid dualis dan aksinya terhadap dunia luar, termasuk
pendidikan bersifat interaktif/responsif.
Karena fitrah inilah maka mengharuskan penanggung jawab pendidikan
melakukan revitalisasi budaya termasuk sarana pendidikannya untuk mendukung
fitrah ketuhanan dan fitrah dualis yang positif, dan memperkecil, mengendalikan
dan meredam munculnya fitrah dualis yang negatif.
DAFTAR PUSTAKA
H. M. Bibit Suprapto. 2009. ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA Riwayat
Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: Gelegar
Media Indonesia.
Maragustam. 2007. Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani. Yogyakarta:
Datamedia.
Martin Van Bruinessen. 1999. KITAB KUNING Pesantren dan Tarekat
Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Nasution. 1983. Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung:
Jemmars.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. 1992. ENSIKLOPEDI ISLAM
INDONESIA. Jakarta: Djambatan.
Tobroni. 2008. PENDIDIKAN ISLAM Paradigma Teologis, Filosofis
dan Spiritualis, Malang: UMM Press.
[1]
Tobroni, PENDIDIKAN
ISLAM Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualis, Malang, UMM Press,
2008, hal. 23
[2]
Maragustam, Pemikiran
Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani, Yogyakarta, Datamedia, 2007, hal.99
[3]
Maragustam, Pemikiran
Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani, Yogyakarta, Datamedia, 2007, hal. 100
[5]
Nasution, Sejarah
Pendidikan Indonesia, Bandung, Jemmars, 1983, hal. 3
[6]
Maragustam, Pemikiran…, hal. 101
[7]
Suprapto, H.
M. Bibit, ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara, Jakarta, Gelegar Media Indonesia, 2009,
hal.653
[10]
Suprapto, ENSIKLOPEDI…,
hal.653
[11]
Van Bruinessen,
Martin, KITAB KUNING Pesantren dan Tarekat Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia, Bandung, Mizan, 1999, hal. 38
[12]Maragustam, Pemikiran…,
hal. 101
[13]
Suprapto, ENSIKLOPEDI…,
hal.654
[14]
Maragustam,
Pemikiran…, hal. 102
[16]
Tim Penulis
IAIN Syarif Hidayatullah, ENSIKLOPEDI ISLAM INDONESIA, Jakarta,
Djambatan, 1992, hal. 424
[17]
Suprapto, ENSIKLOPEDI…,
hal.656
[18]
Tim Penulis…,
ENSIKLOPEDI…,hal. 424
[19]
Maragustam, Pemikiran…,
hal. 107
[25] Ibid., hal.
273